Sejujurnya, pertama mendapat inforamasi itu aku terkejut. Salah satu dari adik angkatan berasal dari luar negeri, belum mengerti bahasa negara tujuan, berasal dari negara yang memakai
English sebagai bahasa kedua. Maksudku, bahasa nasional "sepertinya" lebih diutamkan.
Kebetulan aku menjadi kakak angkatan pendampingnya, setidaknya selama setengah semester bersama kedua temanku. Sepintas tidak ada masalah walaupun kemampuan berbahasa Inggrisku masih terpaku pada
intermediate level. Problema baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku tahu seperti apa sesuatu yang dihadapi olehnya karena saat itu aku terbawa memori beberapa tahun yang lalu.
Aku ingat ketika aku masih memakai hem putih, celana dan dasi berwarna merah, kaos kaki 15cm di atas mata kaki, dan sepatu hitam. Itu adalah awal masa orientasi SMP. Aku mencoba mengajak berbicara teman 'senasib'. Gak nyambung. Ya jelas aja gak nyambung karena aku berasal dari sekolah asal yang berbeda. Bisa dibayangkan dirimu ada di sekumpulan makhluk aneh yang gak ngerti apa yang kamu omongin. Atau dengan kata lain akulah yang jadi makhluk aneh itu dihadapan mereka -__-
Aku sudah merasa payah menghadapi masalah seperti itu. Bagaimana dengan 'adik bimbinganku' ini ? Jelas tak mungkin membuat semua orang di sekitarnya mengerti bahasa aslinya. Jelas tak mungkin pula menjadikan adikku ini bercakap-cakap memakai bahasa Merah-Putih. Bahasa Inggris bisa saja berperan sebagai 'mediator'. Namun, tak semudah itu juga bahasa ini menjadi perekat antara ia dan lingkungannya.
Culture shock. Dua kata ini katanya wajar dimiliki oleh seseorang yang tiba-tiba terdampar di sebuah negeri asing. Budaya, bahasa, dan tentu saja cara hidup akan berubah drastis karena frase tersebut. Yang sukar dimengerti ialah efek lanjut dari culture shock. Lain kali akan kujelaskan setelah aku membimbing temanku ini yak :D